Senin, 04 Oktober 2010

Etos Kerja Bangsa Jerman

Pengertian Etos Kerja

Etos sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat dan kebiasaan. Menurut Jansen Sinamo, maka etos merupakan kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa diterima secara aklamasi. Selain itu, etos merupakan syarat utama bagi semua upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik pada level individual, organisasional, maupun sosial. Selain itu, metode pembangunan integritas bangsa harus dilakukan secara fokus dan serius, membawa misi perbaikan dalam proses berkesinambungan, serta keterlibatan total dari seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Kerja sebagai kehormatan, dan karenanya kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang unggul (excellent performance). Kehormatan itu berakar pada kualitas dan keunggulan. Misalnya, Singapura, meskipun negeri kecil dari segi ukuran, tetapi tinggi dari segi mutu birokrasi, nyaris bebas KKN, dan unggul di bidang SDM dan pelayanan sehingga memperoleh status terhormat dalam percaturan bangsa-bangsa.

Yang utama adalah keunggulan budi dan keunggulan karakter yang menghasilkan kerja dan kinerja yang unggul pula. Tentunya, keunggulan tersebut berasal dari buah ketekunan seorang manusia Mahakarya. Kemampuan menghayati pekerjaan menjadi sangat penting sebagai upaya menciptakan keunggulan. Intinya, bahwa saat kita melakukan suatu pekerjaan maka hakikatnya kita sedang melakukan suatu proses pelayanan. Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan kemampuan transendensi yang bersifat melampaui ruang gerak manusia yang kecil.

Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Pada Webster's New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.

Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika; ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak.

Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Muncullah etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya. Bahkan prinsip yang sama bisa ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda sekalipun pengertian etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya berdisplin, bekerja keras, berhemat, dan menabung.

Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian etos kerja re-definisikan, etos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan; respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat.

Etos Kerja Bangsa Jerman

Duabelas tahun periode Adolf Hitler merupakan aib bagi bangsa Jerman yang sebelumnya dikenal sebagai negara yang telah melahirkan filsuf-filsuf besar, penulis, komposer, dan ilmuwan setara Albert Einstein. Sisi gelap itu terus membayangi bangsa ini, hingga kini.

”Mungkin akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu itu telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke, Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun 1944. ”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu dihadapkan dan diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa hidup normal,” katanya. ”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat. Saya selalu merasa malu dengan negara saya. Dan di sekolah semua keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi kami untuk merasa bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat tentang Jerman hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah negara yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat terendah di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000 responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional” (national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31 persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam kehidupan rakyat Jerman. Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah kejujuran dan integritas (81-83 persen).

Setelah perang dunia berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne Zepp, Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll Foundation. Zepp menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian dari identitas” bangsanya. Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali warga Jerman dihadapkan pada pertanyaan menyangkut perang dan perdamaian, isu Israel dan Yahudi, ataupun isu rasisme dan radikalisme.

Generasi pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu. Prof Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari Friedrich-Meinecke Institut, Freie Universitat Berlin, mengenang betapa ia dan rekan segenerasinya sulit untuk terbebas dari ikatan ”keterlibatan” itu.

Proses panjang

Penerimaan terhadap aib di masa lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap. Usai PD II negeri ini hancur berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Belum lagi para pengungsi yang terusir dari kediamannya setelah wilayah Jerman dipangkas berdasarkan kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang tak memiliki pilihan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan berkonsentrasi penuh pada gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali ekonomi, kota-kota yang hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan mereka.

”Rakyat Jerman harus bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas ini berkembang bahwa Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda harus menciptakan keajaiban ekonomi, dan seandainya Anda berhasil mungkin tetangga-tetangga Anda akan melupakan kejahatan yang telah Anda lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat Jerman saat itu telah membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan dengan kerja keras dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.

Pihak Sekutu mengerahkan segala cara agar militerisme Jerman tidak bisa bangkit lagi, antara lain melalui ”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi lain mereka juga berhati-hati dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada komunisme jika perekonomian memburuk.

Perang Dingin pada akhirnya mengubah pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan melalui Marshall Plan atau Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS menganggap bahwa sebuah Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi dari sebuah ”Jerman yang stabil dan sejahtera”.

Marshall Plan telah ”berjasa” dalam hal mendepolitisasi industri, di mana industri lebih terfokus pada peningkatan produktivitas. Karyawan yang rela digaji rendah, tingkat aksi pemogokan yang rendah, dan menurunnya karakter militansi dalam tubuh asosiasi buruh, ikut mempercepat pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut psikologi ”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).

”Jangan lupa, bangsa Jerman tidak bangkit dengan sendirinya. Selain ada Marshall Plan, Jerman juga memperoleh keuntungan dari Perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen, editor Asia-Pasifik surat kabar Die Tageszeitung.

Kesuksesan ekonomi menjadi faktor signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk komit terhadap nilai-nilai demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal parlemen atau pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah bangsa dan ketika kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30 sampai 40 tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.

”Tujuan kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita belajar dari sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral dari identitas nasional kita,” lanjutnya.

Kesimpulan

Dari wacana di atas saya dapa menyimpulkan ialah, walaupun Bangsa Jerman yang memiliki sejarah yang cukup kelam, hal itu tidak menjadikan Jerman semakin terpuruk. Hal yang terjadi ialah sebaliknya, Jerman selalu belajar dari masa lalu, belajar dari sejarah dan sampai sekarang Jerman menjadi negara yang maju.

Seharusnya kita patut mencontoh hal tersebut, kita harus lebih menghargai sejarah, mencintai sejarah bangsa kita. Dan tidak berhenti sampai disitu, yang terpenting adalah kita harus mencintai tanah air kita. Sehingga etos kerja kita dapat menjadi lebih baik lagi.




Pustaka :

  1. Sumber: Kompas, Bangsa yang Melawan Pelupaan - Myrna Ratna

  2. http://training-ethos.blogspot.com/2007/11/etos-kerja-bangsa-jerman.html

  3. http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html

  4. http://de-kill.blogspot.com/2009/01/etos-kerja.html
  5. http://hbis.wordpress.com/2007/11/27/etos-kerja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar